Wednesday, December 5, 2012

Cerpen BIDAK-BIDAK CATUR


“Kenapa harus diam saja bagai sapi pera? Padahal kita bukan bidak catur yang harus mengikuti alur pemain” tanya Rian kepada penduduk kali urang yang hanya bisa ngeluh di cangkruan melihat ulah lurah yang seenaknya sendiri. Rosip yang juga merasakan hal itu, menjawab dengan pertanyaan.
“Terus kita bisa apa?’
Rian terkejut.
“Dengan kita diam, mereka anggap kita tak ada masalah dan mereka akan semakin menjadi. Sebaiknya kita adakan pembicaraan dengan membuat forum bersama.”
“Caranya?”
Rian berpikir.
“Kita mengajak semua orang untuk memahami makna kebebasan dan batasan dari sebuah kebebasan, bukan hanya diam dan tenang melihat semua yang ada. Karena ketakutannya terhadap sesuatu yang besar, yang memberikan dampak bagi semut-semut disekitarnya. Kita harus memutus belenggu itu”
“Manamungkin mereka akan dengar bingar kita?”
“itu yang membuat kita berdiam diri?”
Rian tiba-tiba berteriak.
“Kita bukan bidak catur yang selalu terbelenggu dan terpenjara!!!!!!”
“Brisik!!!”  kata pak Marto tetangga sebelah.
“Begitu saja kamu sudah terdiam, dengan kata-kata ku! Bagaimana kalau sudah dalam forum, nyalimu belum seberapa untuk mendeklarasikan hal semacam ini. Kita memang bukan bidak catur, namun kita harus cerdik bagai pemain catur yang bisa mengatur!”
“Kalau begitu maksudnya kita harus menjadi pejabat seperti mereka?”
“Bukan! Ini bukan teori ataupun pepatah yang menyatakan jika kamu ingin menjadi sesuatu maka kamu harus menguasai kaum itu! Itu hanyalah pepatah kuno yang menjadikan kita merasa terperangah dan berambisi menjadi penguasa.
Begitu”
Rian dan Rosip hanya mengangguk.
 Disisilain tekat Rian sudah bulan untuk menjadi penggerak dalam forum terbuka.
“ Kita akan tetap melaksanakan forum itu dengan segera, karena hanya dengan diskusi semua akan berjalan baik.”
“Betul. Tapi ingat pesan bapak, berpikirlah sebagai seorang pemain catur yang mampu menggerakkan tiap bidaknya dengan rapi!”
Pak martopun pergi dengan langkah kewibawaannya.
Tiba-tiba seorang anak kecil lewat sambil menangis. Wajah polosnya terlihat jelas.
“Kenapa dik?”
“Uangku diambil mereka”
Rian dan Rosip tercengang.
“Lho bukannya perampasan itu perbuatan yang salah?!”
“Ayo segera kita bantu anak itu, kita ambil kembali hak dari anak ini.”
Rengekan anak kecil itupun masih terdengar jelas, dan Rian berpikir tajam.
“Cepat, keburu mereka pergi!”
Karena Rian masih bengong, Rosip menarik Rian sambil berlari dengan anak kecil   itu.
“ Mereka yang mengambil uangku!”
“Hoe, kalian tahu tidak! Perampasan hak oranglain itu tidak boleh.”
“Mentang-mentang kalian besar bukan berarti harus sewenang-wenang melakukan penindasan pada kaum yang lemah”
“Harusnya kita yang besar memberikan contoh yang baik, bukan sebaliknya.”
“Kalian jangan ikut campur!”
“Ini urusan kami, terserah kami mau berbuat apa!”
“Tapi perbuatan kalian sungguh meresahkan bagi para kaum lemah.”
“Bukan maksud kami untuk ikut campur, sebagai sesama kita hanya bisa saling mengingatkan.”
“Betul!”
 Ketika melihat perselisihan tersebut, Para tetangga hanya melihat. Mereka anggap itu sebagai fenomena langka, karena baru kali ini masalah kecil menjadi besar. Padahal masalah besar saja warga hanya diam.
“Bubar bubar bubar!!!”
“ini bukan tontonan”
“bukannya membantu malah asik menonton.”
“pantas saja pemimpin kita semakin menjadi-jadi, karena kalian hanya bisa melihat dan diam bagai bidak catur yang mudah dipermainkan.”
Seketika semua warga diam, hanya saling menatap satu sama lain. Seolah-olah seorang guru yang sedang memberikan tugas yang sangat berat kepada siswanya sehingga siswa bingung.
Satu persatu warga mulai berbalik dan membubarkan diri sambil menggerutu. Sekelompok pemalak itupun mulai luluh.
“kami mohon maaf apabila kami salah dan telah banyak meresahkan anak-anak dikampung ini.”
“Kami hanya butuh uang untuk makan dan sekedar membeli rokok.”
“Kami janji tidak akan mengulanginya lagi.”
Merekapun saling berjabat tangan, sebagai tanda pengucap maap dan pengesah perjanjian atas  apa yang mereka ucapkan.
“Rian, tak seharusnya kamu berkata seperti itu kepada warga! Semua itu bisa mengakibatkan warga jadi males melihat ataupun menyapa kita!” ujar Rosip.
“Biar!”
“Aku berbuat demikian agar mereka sadar!”
“Sadar?”
“Sadar dari penindasan sang penguasa kampung.”
“Apa kamu mau hidup selamanya dibawa kekangan aturan yang merugikan kita.”
“Pastinya tidak!”
Keesokan harinya Rian mengantarkan Undangan kekanntor kelurahan dan pada seluruh masyarakat bahwa akan dilaksanakan Forum diskusi antar warga dan pihak kelurahan.
Dengan penuh semangat pukul 08.00 WIB diskusi forumpun dilaksanakan di Balai Desa setempat. Forum itu dihadiri bukan hanya pegawai kelurahan, tapi juga melibatkan banyak pihak yaitu Rw, RT, dan warga masyarakat serta pemuda.
“Begini pak lurah!”
“Kami hanya ingin agar peraturan- peraturan yang memberatkan kami bisa dihilangkan!”
“Peraturan yang mana?”
“Kenapa minta surat rujukkan untuk membuat KTP kita harus bayar, pengajuan JAMKESMAS harus bayar???!”
“Padahal itu semua hak kami.”
“Kebersihan jalan harus bayar? Bukankah kita selalu melaksanakan gotong royong bersih lingkungan! Konsumsipun kami di jadwal!”
Pak lurah hanya diam beserta setafnya. Kepulan asap rokok menambah suasana diruangan semakin memanas.
Kemudian salah satu warga berteriak.
“Kita turunkan saja lurah ini.”
“Betul” Triak para warga yang terprofokasi.
Adu mulut tak terelakkan. Hapir dua jam berlalu tapi belum jua ada titik terang.
“Kesejahtraan warga yang bagaimana? Jika semua selalu dihargai dengan uang?’
“Uang yang kita bayarkan untuk semua itu difungsikan untuk apa?”
“Harusnya ada penjelasan secarah jelas dan gamblang! Bukan malah ditutup-tutupi.’
Ketakutan terlihat jelas dari raut wajah-wajah pegawai kelurahan. Pak lurah hanya tercengang bingung mau bicara apa? Dengan penuh keringat di dahinya.
“Banyak pejabat korupsi tapi mereka hanya santai.” Ucap lurah dalam hati.
“Pak lurah tinggal memutuskan untuk tetap menjabat atau mundur?”
“Atau mau mundur paksa?” seru warga yang lain.
Dengan suasana yang makin memanas, Rian sebagai moderator untuk istirahat bak sidang para anggota DPR-MPR.
“Berhubung sebentar lagi adzan sholat jumat, kita istirahatkan dulu forum ini. Kita lanjut pukul 13.00.”
Warga berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Sedang para pegawai kelurahan masih tetap terdiam dikursi masing-masing. Dengan sebatang rokok ditangan kiri yang megangi kepala.
Pukul 13.00 rapat forum dimulai lagi.
Sesuai dengan hasil diskusi dengan sesama anggota pegawai kelurahan, pak lurah mengeluarkan pernyataan”Dengan ini saya menyatakan pengunduran diri saya sebagai lurah dikelurahan ini.”
Pernyataan tersebut membuat warga merasa senang. Sorak kegembiraan meluap, namun Rian justru malah balik terdiam. Karena tak tahu siapa pengganti lurah berikutnya! Lebih baik atau justru memperbudak?



JOGO TONGGO (GOTONG ROYONG SAK LAWASE)

Pada kesempatan kali ini kita akan sedikit membahas program Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam menangani Covid-19, yaitu p...