Sunday, April 5, 2015

Album Kegiatan Saka Bahari Kwarcab XI. 26 Kabupaten Pekalongan






























SATUAN KARYA PRAMUKA BAHARI (SAKA BAHARI) KWARCAB XI. 26 KABUPATEN PEKALONGAN

Gerakan pramuka merupakan pilar pokok dalam pembinaan karakter anak dan pemuda Indonesia agar menjadi kader yang berjiwa pancasila serta berahlakul karimah. Berlandaskan Undang Undang Dasar 1945 dengan sistem among melakukan pembinaan dengan menjunjung tinggi Tri Satya dan Dasadarma Pramuka sebagai acuan pelaksanaan penaanaman idiologi. Salah satu pembentukan karakter tersebut dengan membekali peserta didik dengan pengetahuan serta ketrampilan. Keterampilan yang di maksud melalui beberapa bagian, di antaranya yaitu keterampilan dibidang kebaharian. Wadah pembinaan tersebut kemudian diberi nama Satuan Karya Pramuka Bahari (SAKA BAHARI).

Satuan Karya Pramuka Bahari (SAKA BAHARI) merupakan sarana guna memupuk, mengembangkan dan membina serta mengarahkan minat dan bakat generasi muda terhadap sektor kemaritiman/ kebaharian. Guna terealisasikannya proses tersebut, maka perlu adanya dukungan dari anggota Pramuka dewasa dan segenap instansi yang bersangkutan, mulai dari tataran Ranting (Kecamatan) hingga Nasional (Pemerintah RI). 

Satuan Karya Pramuka Bahari (SAKA BAHARI) Kwarcab XI. 26 Kabupaten Pekalongan adalah salah satu unit ke Pramukaan yang mempelajari tentang sektor kebaharian. Dibawah naungan TNI AL Wonokerto, Dinas Kelautan Perikanan dan Peternakan (DKPP), HNSI, Kwarcab XI. 26 Kabupaten Pekalongan dan beberapa sektor instansi terkait berusaha untuk membina generasi muda Pramuka. Mengingat Kabupaten Pekalongan merupakan daerah pesisir pantai yang memiliki beberapa pantai dari Siwalan hingga Tirto, sehingga perlu adanya pengenalan dan pendidikan tentang kemaritiman.

Dengan semboyan “JALESVEVA JAYAMAHE” yang bermakna “Di lautan kita Jaya” menjadikan Saka Bahari Kwarcab XI. 26 Kabupaten Pekalongan berkembang hingga saat ini.

Anggota Baru Saka Bahari Kwarcab XI. 26 Kabupaten Pekalongan
 
 Gotong Royong membuat alat pancing





mendengarkan instruksi

Wednesday, April 1, 2015

SEJARAH SEMANTIK DAN PERKEMBANGANYA


Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani Sema (Nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik.

Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association ‘organisasi filologi amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meanings: A point in Semantics. Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy. Sejarah semantik dapat dibaca di dalam artikel “An Account of the Word Semantics (Word, No.4 th 1948: 78-9). Breal melalui artikelnya yang berjudul “Le Lois Intellectuelles du Language” mengungkapkan istilah semantik sebagai bidang baru dalm keilmuan, di dalam bahasa Prancis istilah sebagai ilmu murni historis (historical semantics).

Historical semantics ini cenderung mempelajari semantik yang berhubungan dengan unsur-unsur luar bahasa, misalnya perubahan makna dengan logika, psikologi, dst. Karya Breal ini berjudul Essai de Semanticskue. (akhir abad ke-19).

Reisig (1825) sebagai salah seorang ahli klasik mengungkapkan konsep baru tentang grammar (tata bahasa) yang meliputi tiga unsur utama, yakni etimologi, studi asal-usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna; sintaksis, tata kalimat dalam semasiologi, ilmu tanda (makna). Semasiologi sebagai ilmu baru pada 1820-1925 itu belum disadari sebagai semantik. Istilah Semasiologi sendiri adalah istilah yang dikemukakan Reisig. Berdasarkan pemikiran Resigh tersebut maka perkembangan semantik dapat dibagi dalam tiga masa pertumbuhan, yakni:
1.      Masa pertama, meliputi setengah abad termasuk di dalamnya kegiatan reisig; maka ini disebut Ullman sebagai ‘Undergound’ period.
2.      Masa Kedua, yakni semantik sebagai ilmu murni historis, adanya pandangan historical semantics, dengan munculnya karya klasik Breal(1883)
3.      Masa perkembangan ketiga, studi makna ditandai dengan munculnya karya filolog Swedia Gustaf Stern (1931) yang berjudul “Meaning and Change of Meaning With Special Reference to the English Language Stern melakukan kajian makna secara empiris

Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu makna, baru pada tahun 1990-an dengan munculnya Essai de semantikue dari Breal, yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern. Tetapi, sebelum kelahiran karya stern, di Jenewa telah diterbitkan bahan, kumpulan kuliah dari seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan perkembangan linguistik berikutnya, yakni Ferdinand de Saussure, yang berjudul Cours de Linguistikue General. Pandangan Saussure itu menjadi pandangan aliran strukturalisme. Menurut pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan (the whole unified). Pandangan ini kemudian dijadikan titik tolak penelitian, yang sangat kuat mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa.
Pandangan semantik kemudian berbeda dengan pandangan sebelumnya, setelah karya de Saussure ini muncul. Perbedaan pandangan tersebut antara lain:
1.      Pandangan historis mulai ditinggalkan
2.      Perhatian mulai ditinggalkan pada struktur di dalam kosa kata,
3.      Semantik mulai dipengaruhi stilistika
4.      Studi semantik terarah pada bahasa tertentu (tidak bersifat umum lagi)
5.   Hubungan antara bahasa dan pikira mulai dipelajari, karena bahasa merupakan kekuatan yang menetukan dan mengarahkan pikiran (perhatian perkembangan dari ide ini terhadap SapirWhorf, 1956-Bahasa cermin bangsa).
6.      Semantik telah melepaskan diri dari filsafat, tetapi tidak berarti filsafat tidak membantu perkembangan semantik (perhatikan pula akan adanya semantik filosofis yang merupakan cabang logika simbolis.

Pada tahun 1923 muncul buku The Meaning of Meaning karya Ogden & Richards yang menekankan hubungan tiga unsur dasar, yakni ‘thought of reference’ (pikiran) sebagai unsur yang menghadirkan makna tertentu yang memiliki hubungan signifikan dengan referent(acuan). Pikiran memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik biasa menetukan fakta bahwa asal kata meaning(nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung ‘meaning’ yang berbeda-beda. Leech (1974) menyatakan bahwa ahli-ahli semantik sering tidak wajar memikirkan’the meaning of meaning’ yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantik dalam hubungannya dengan ilmu lain; para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.
Istilah semantik pun bermacam-macam, atara lain, signifik, semisiologi, semologi, semiotik, sememmik, dan semik. Palmer (1976), Lyons (1977), dan Leech (1974) menggunakan sitilah semantcs. Lehrer (1974) mengemukakan bahwa semantik merupakan bidang yang sangat luas, karena ke dalamnya melibatkan unsur-unsur struktur dan fungsi bahasa, yang berkaitan erat dengan psikologi, filsafat dan antropologi, serta sosiologi. Antropologi berkepentingan di bidang semantik antara lain, karena analisis makna di dalam bahasa dapat menyajikan klasifikasikasi budaya pemakai bahasa secara praktis. Ilsafat berhubungan erat dengan semantik karena persoalan makna tertentu yan dapat dijelaskan secara filosofis (mis, makna ungkapan dan peribahasa). Psikologi berhubungan erat dengan semantik karena psikologi memanfaatkan gejala kejiwaan yang ditampilkan manusia secara verbal dan nonverbal. Sosiologi memiliki kepentingan dengan semantik, karena ungkapan atau ekspresi tertentu dapat memandai kelompok sosial atau identitas sosial tertentu
Para pemikir/filusuf Yunani sejak dulu telah mengkaji dan mendiskusikan isu-isu yang dapat dikatagorikan sebagai embrio semantik.Studi semantik pada saat itu dapat dijadikan sebagai barometer kemajuan berpikir seseorang (Umar, 1982). Aristoteles sebagai pemikir Yunani yang hidup pada masa 384-322 SM adalah pemikir pertama yang menggunakan istilah “makna” lewat batasan pengertian kata, yang menurutnya adalah satuan terkecil yang mengandung makna (Aminuddin, 2003).
Dalam kaitannya dengan “makna”, Aristoteles membedakan antara bunyi dan makna, Disebutkan, bahwa makna itu sesuai dengan konsep yang ada pada pikiran. Dia membedakan antara sesuatu yang ada di dunia luar (al-asyya’ fil ‘alam al-khariji), konsep/makna (at-tashawwurat/al-ma’ani), dan bunyi/lambang atau kata (ar-rumuz/al-kalimat) (Umar, 1982). Bahkan Plato (429—347 SM) dalam Cratylus mengungkapkan bahwa bunyi-bunyi bahasa itu secara implisit mengandung makna-makna tertentu. Hanya saja memang, pada masa itu batas antara etimologi, studi makna, maupun studi makna kata belum jelas (Aminuddin, 2003).
Semantik sebagai subdisiplin linguistik muncul pada abad ke-19. Pada tahun 1825, seorang pakar klasik berkebangsaan Jerman bernama C. Chr.Reisig mengemukakan pendapatnya tentang tatabahasa (grammar). Dia membagi tatabahasa menjadi tiga bagian utama, yaitu (1) semasiologi, ilmu tentang tanda, (2) sintaksis, studi tentang kalimat, dan (3) etimologi, studi tentang asal usul kata sehubungan dengan perubahan bentuk maupun makna (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Istilah semasiologi yang berasal dari Reisig ini berpadanan dengan istilah semantik (Pateda, 2001). Istilah semantik itu sendiri pada saat itu masih belum digunakan meskipun studi tentangnya sudah dilaksanakan. (Aminuddin, 2003). Berdasarkan pandangan Reisig ini, perkembangan semantik dapat dibagi atas tiga fase (Pateda, 2001). Fase pertama meliputi masa setengah abad, termasuk di dalamnya kegiatan Reisig. Fase ini biasa disebut the underground period of semantics.
Fase kedua, awal tahun 1883 (dalam buku Pateda, 2001 disebutkan awal tahun 1880) dimulai dengan munculnya buku karya Michel Breal, seorang berkebangsaan Perancis lewat artikelnya berjudul “Les Lois Intellectuelles du langage”. Pada masa itu, studi semantik lebih banyak berkaitan dengan unsur-unsur di luar bahasa itu sendiri, misalnya bentuk perubahan makna, latar belakang perubahan makna, hubungan perubahan makna dengan logika, psikologi maupun kriteria lainnya. Karya klasik Breal dalam bidang semantik pada akhir abad ke-19 ini adalah Essai de Semantique Science des Significtions (1897), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Semantics: Studi in the Science Of Meaning (Pateda 2001 dan Aminuddin, 2003).
Fase ketiga, yakni tiga dekade pertama abab XX merupakan masa pertumbuhan studi tentang makna. Fase ini ditandai dengan pemunculan buku berjudul Meaning and Change of Meaning with Special Reference to the English Language (1931) karya filosof Swedia bernama Gustaf Stern (Pateda, 2001 dan Aminuddin, 2003). Stern dalam kajiannya sudah melakukan studi makna secara empiris dengan bertolak dari satu bahasa, yakni bahasa Inggris (Aminuddin, 2003). Sebelumnya, yakni pada tahun 1916, Ferdinand de Saussure yang sering disebut sebagai bapak linguistik modern telah menulis buku berjudul Cours de Linguistique Generale (pada tahun 1959, buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris Course in General Linguistics). Dia berpendapat, bahwa studi linguistik harus difokuskan pada keberadaan bahasa itu pada waktu tertentu (Chaer, 2002). Dengan demikian, studi bahasa yang dilaksanakan haruslah menggunakan pendekatan sinkronis atau studi yang bersifat deskriptif. Sementara itu, studi tentang sejarah dan dan perkembangan suatu bahasa adalah kajian kesejarahan yang menggunakan pendekatan diakronis (Aminuddin, 2003).
Pandangan de Saussure tersebut berimplikasi pada studi semantik yang dicirikan oleh (i) pandangan yang bersifat historis telah ditinggalkan karena pendekatannya sinkronis, meskipun masalah perubahan makna masih juga dibicarakan; (ii) perhatian diarahkan pada strukutr kosa kata; (iii) semantik dipengaruhi oleh stilistika; (iv) studi semantik telah diarahkan pada bahasa tertentu dan tidak bersifat umum lagi; (v) dipelajari hubungan antara bahasa dan pikiran karena bahasa tidak dianggap sebagai kekuatan yang menentukan dan mengarahkan pikiran; (vi) meskipun semantik telah melepaskan diri dari filsafat, namun tidak berarti bahwa filsafat tidak dapat membantu perkembangan semantik (Pateda, 2001, Chaer, 2002, dan Aminuddin, 2003).
Menurut de Saussure yang nama lengkapnya Mongin Ferdinan de Seassure (kelahiran Jenewa pada tahun 1857), suatu bahasa terdiri atas satu perangkat tanda atau ‘signs’ yang merupakan kesatuan dari signifiant (penanda atau bagian bunyi ujaran) dengan signifie (tertanda atau bagian arti). Masing-masing tanda tersebut tidak dapat dipisahkan, karena ucapan atau artinya ditentukan oleh perbedaan dengan tanda-tanda di dalam sistemnya. Tanpa sistem yang ada dalam sutau bahasa, kita tidak mempunyai landasan untuk membicarakan bunyi atau konsep/arti (Sampson, 1980). Istilah semantik pun bermacam-macam, antara lain, signifik, semasiologi, semiologi, semiotic, sememik, dan semik. Palmer (1976), Leech (1974), dan Lyons (1977) menggunakan istilah semantik (Djajasudarma, 1, 1993).

Pengertian Semantik
Kata semantik sebenarnya merupakan istilah teknis yang mengacu pada studi tentang makna. Istilah ini merupakan istilah baru dalam bahasa Inggris. Para ahli bahasa memberikan pengertian semantik sebagai cabang ilmu bahasa yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik atau tanda-tanda lingual dengan hal-hal yang ditandainya (makna). Istilah lain yang pernah digunakan hal yang sama adalah semiotika, semiologi, semasiologi, dan semetik. Pembicaraan tentang makna kata pun menjadi objek semantik. Itu sebabnya Lehrer (1974:1) mengatakan bahwa semantik adalah studi tentang makna (lihat juga Lyons 1, 1977:1), bagi Lehrer semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat, dan antropologi.
Pandangan yang bermacam-macam dari para ahli mejadikan para ahli memiliki perbedaan dalam mengartikan semantik. Pengertian semantik yang berbeda-beda tersebut justru diharapkan dapat mngembangkan disiplin ilmu linguistik yang amat luas cakupannya.
1.      Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
2.      J.W.M Verhaar; 1981:9
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.
3.      Lehrer; 1974: 1
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
4.      Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia manusia.
5.      Ensiklopedia britanika (Encyclopedia Britanica, vol.20, 1996: 313)
Semantik adalah studi tentang hubungan antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental atau simbol dalam aktifitas bicara.
6.      Dr. Mansoer pateda
Semantik adalah subdisiplin linguistik yang membicarakan makna.
7.      Abdul Chaer
Semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti. Yaitu salah satu dari 3 (tiga) tataran analisis bahasa (fonologi, gramatikal dan semantik).


Semantik mengandung pengertian studi tentang makna dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantic merupakan bagian dari linguistik.

Semantic sebenarnya merupakan ilmu tentang makna, dalam bahasa Inggris disebut meaning. Kata semantic sendiri berasal dari bahasa Yunani. Yaitu sema (kata benda) yang berarti “menandai” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Kemudian semantic disepakati sebagai istilah yang digunakan dalam bidang linguistic untuk memelajari hubungan antara tanda-tanda linguistic dengan sesuatu yang ditandainya.
Namun istilah semantic sama halnya dengan kata semantique dalam bahasa Perancis yang diserap dari bahasa Yunani yang diperkenalkan oleh M. Breal. Di dalam kedua istilah semantics dan semantique, sebenarnya semantic belum secara tegas membahas makna karena lebih banyak membahas tentang sejarahnya.
Selain itu istilah semantic dalam sejarah linguistic digunakan

JOGO TONGGO (GOTONG ROYONG SAK LAWASE)

Pada kesempatan kali ini kita akan sedikit membahas program Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam menangani Covid-19, yaitu p...