Wednesday, September 16, 2015

Pekalongan kui SAE tur ASRI



Berbicara tentang Pekalongan kita akan menemukan dua kata “SAE” dan “ASRI”. Kota yang memiliki makanan khas yang bernama “Megono” dan salah satu kota kreatif dunia dengan industri Batik yang menjadi salah satu ikonnya.

Kembali ke kata “SAE” kata-kata jawa yang berarti “baik”. Kenapa Pekalongan di katakan SAE? Kenopo hayo? Ono seng ngerti? Iki lo ulasane!

Sebab di Kota inilah julukan Kota Santri di sematkan. Bukan tanpa alasan Kota ini memiliki julukan demikian, sebab mayoritas masyarakatnya beragama islam, walau ada etnis Cina, Arab dan lain sebagainya.
Terlebih, masyarakat Pekalongan masih menjunjung ting keramah tamahannya lebih menjadikan Pekalongan terlihat Sae bagi para pendatang ataupun masyarakat Pekalongan sendiri. Banyaknya pondok pesantren dan sekolah berbasis agama sebagai penanda bahwa Pekalongan kental akan makna religius itu pula yang menjadikan Pekalongan makin Sae. Salah satu diantaranya yang terkenal di Pekalongan adalah pondok pesantren Ribatul Mutaalimin (Landungsari), pondok pesantren Modren Junaid (Buaran), pondok pesantren Attaufiqy (Wonopringgo) dan pondok pesantren Nurul Huda (Simbang Kulon) dan masih banyak lagi pondok pesantren yang ada di Pekalongan.

Kata Sae juga melekat pada budaya yang ada di Pekalongan, mulai dari acara Sawalan yang di laksanakan pada satu minggu setelah lebaran dengan maksud untuk saling memaafkan. Pada tradisi tersebut masyarakat Pekalongan membuka pintu rumah dan mempersilahkan para pengunjung untuk masuk bertamu, meski tidak kenal dengan para pengunjung tetapi bukan menjadi persoalan besar. Sebab inilah wujud rasa cipta Sae bagi warga Pekalongan.

Bukan hanya itu saja, tradisi perayaan Maulid nabi yang biasanya juga di rangkai dengan perayaan Panjang Jimad yang di selenggarakan oleh Habib Lutfi bin Yahya. Pada tradisi ini juga Sae, sebab pada Panjang Jimad menunjukkan toleransi beragama, segala macam budaya dan kreatifitas masyarakat di sajikan. Di tambah pada pelaksanaan Maulid Nabi ada istilah makan bersama dengan menggunakan talam, yang tiap talam di sediakan untuk makan 5 orang (mencerminkan persaudaraan dan kekeluargaan). Tradisi lain yang mencerminkan Saenya Pekalongan ada Sedekah Bumi, Sedekah Laut, Padusan, Kliwonan, Sintren dan masih banyak lagi yang Sae-sae di Pekalongan baik dari segi wisata ataupun masyarakat dan ekonominya.
Setelah kita mengenal Sae, tiba saatnya kita sedikit mengulas yang Asri-Asri  di Pekalongan!

Pekalongan selain di kenal sebagai kawasan pesisir, juga di kenal dengan daerah pegunungan yang menawarkan wisata yang memanjakan mata dan terbilang masih sangat Asri, mulai dari Linggo Asri (buper dan wisata out bound serta wisata lain yang tersedia), Kali Pahingan (arum jeram, taman dan berbagai fasilitas ainnya), Watu ireng, Petung Kriono (segudang juruk dan perbukitan serta argo wisata kebun stobery dan rumah kopi), Lolong (arum jeram, buper dan lain sebagainya) dan ada lagi yang masih jarang tek ekspos, yaitu kawasan Talun yang menyajikan penjelajahan hutan dan curuk yang berada di tengah hutan serta beberapa peninggalan Hindu berbentuk patung Ganesha yang terletak di pinggiran sungai yang terdapat di tengah hutan.

Kurang Asri apa Pekalongan? Itulah kekayaan dan keunikan Pekalongan yang memiliki dua area, yaitu Kota dan Kabupaten. Berbatasan dengan Kabupaten Batang di sebelah Timur dan Kab. Pemalang di sebelah Barat serta Kab. Banjar Negara di wilayah selatan.

Jadi wajar dan pantas jika Pekalongan di katakan kawasan Sae dan Asri! Ada pendapat lain?
silahkan kemukakan pendapat anda melalui kolom Coment yang tersedia.

Monday, September 7, 2015

Pendidikan Ala Ki Hadjar Dewantara




Pendidikan adalah suatu kebutuhan bagi manusia untuk kemajuan suatu peradaban. Banyak sekali tokoh dalam dunia pendidikan, baik dari luar negeri ataupun dalam negeri. Salah satu diantaranya yang paling mencolok dan di sebut-sebut sebagai bapak Pendidikan Nasional yaitu Raden Mas Soewardi Soeryaningrat atau lebih kita kenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, beliau adalah tokoh peduli pendidikan yang berupaya menumbuhkan kembali tradisi kejayaan masa lampau negeri ini. Bersama dengan perguruan Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa) yang didirikannya pada tahun 1922, putra dari Pangeran Suryaningrat dan cucu dari K.G.P.A.A. Paku Alam III ini meletakkan dasar-dasar kebudayaan bangsa dan semangat kebangsaan di dalam gerakan pendidikan yang dilakukan di Jawa, Sumatra, Borneo, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku.

Di dunia pendidikan Indonesia, sosok Ki Hadjar Dewatara banyak mengajarkan berbagai hal dalam pembentukan karakter bangsa dan sangat membumi serta berakar pada budaya nusantara, antara lain Among, Tutwuri Handayani, “Tripusat” pendidikan (Keluarga, Sekolah, Masyarakat), Tringgo (ngerti, ngroso, nglakoni).

Latar belakang terbentuknya sistem pendidikan di Indonesia tak lain karena Ki Hadjar Dewantara mengharapkan agar rakyat Indonesia di zaman kolonial Belanda terbebas dari pembodohan dan penjajahan. Dari rasa kepeduliannya terhadap bangsa Indonesia menjadikan ia sebagai pahlawan pendidikan bagi bangsa ini. Pemikiran yang begitu brilian dan sebagai modal perkembangan sebuah bangsa melalui pendidikan.

1.      Among, Tutwuri Handayani

Kata among itu sendiri berasal dari bahasa Jawa, mempunyai makna ngemong (Mengasuh). Sistem among merupakan suatu cara mendidik yang diterapkan dengan maksud mewajibkan kodrat alam anak-anak didiknya. Cara mendidik yang harus diterapkan adalah menyokong atau memberi tuntunan dan menyokong anak-anak tumbuh dan berkembang atas kodratnya sendiri.

Sistem among ini meletakkan pendidikan sebagai alat dan syarat untuk anak-anak hidup sendiri dan berguna bagi masyarakat. Pengajaran ini berarti mendidik anak agar menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka pikirannya, merdeka tenaganya. Guru jangan hanya memberi pengetahuan yang baik dan perlu saja, akan tetapi harus juga mendidik dan mengarahkan murid agar dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum. Pengetahuan yang baik dan perlu itu yang bermanfaat untuk keperluan lahir batin dalam hidup bersama. Tiap-tiap guru, dalam pola pikir Ki Hadjar Dewantara adalah abdi sang anak, abdi murid, bukan penguasa atas jiwa anak-anak (Sudarto, 2008).

Di lingkungan Tamansiswa sebutan guru tidak digunakan dan diganti dengan sebutan pamong. Hubungan antara pamong dan siswa, harus dilandasi cinta kasih, saling percaya, jauh dari sifat otoriter dan situasi yang memanjakan. Dalam konsep ini, siswa bukan hanya objek, tetapi juga dalam kurun waktu yang bersamaan sekaligus menjadi subjek.

Kini sistem among sudah mulai agak mengalami kelunturan. Bahkan dalam organisasi kepramukaan yang memang menggunakan sistem ini juga hapir jarang kita temui. Sistem yang dapat mendidik dan mengajarkan kepada anak tanpa unsur kekerasan dan pemaksaan dan menitik beratkan pada siswa untuk dapat mengeksplorasi kemampuan pada diri siswa.

Ki Hadjar Dewantara menjadikan tutwuri handayani sebagai semboyan metode among. Sudarto (2008) mengutip pendapat Ki Soeratman yang menyatakan bahwa sikap tutwuri merupakan perilaku pamong yang sifatnya memberi kebebasan kepada siswa untuk berbuat sesuatu sesuai dengan hasrat dan kehendaknya, sepanjang hal itu masih sesuai dengan norma-norma yang wajar dan tidak merugikan siapa pun.

Sebagai asas pertama, Tut wuri handayani merupakan inti dari sitem among perguruan taman siswa. Asas yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P. Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo dan Ing Madyo Mangun Karso.

 Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:

Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)
Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)
Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)

Tiga semboyan yang memiliki makna bahwa seorang guru benar-benar mampu di gugu lan ditiru (menjadi contoh yang baik bagi murid dan siswanya), seorang pemimpin menjadi contoh bagi bawahannya terutama dalam hal kebaikan. Ketika di tengah mampu memberi dukungan dan semangat ketika siswa/murid dan bawahannya merasa bingung dan mendapatkan kendala atupun jatuh dari keterpurukan harus mampu memberi dorongan moral.

2.      Tripusat pendidikan (Keluarga, Sekolah, Masyarakat)

Selain membangun sistem Among, Tut Wuri Handayani Ki Hadjar Dewantara juga membuat sistem “Tripusat pendidikan”. Munculnya konsep tersebut adalah untuk mewujudkan cita-cita pendidikan, perlu dilakukan kerjasama antara tiga pusat pendidikan yang ada yaitu perguruan atau lingkungan sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat.
Dengan sistem seperti ini diharapkan setiap pusat pendidikan dapat saling mengisi kekurangan dalam proses pembelajaran. Setiap pusat pendidikan hendaknya juga memberikan kontrol dan menciptan lingkungan yang kondusif demi terbangunnya sistem pendidikan yang harmonis.
Memberikan pengakuan akan pentingnya pendidikan budi pekerti. Beliau berpendapat bahwa pendidikan ala Barat yang hanya berorientasi pada segi intelektualisme, individualisme, dan materialisme tidak sepenuhnya sesuai dengan corak budaya dan kebutuhan bangsa Indonesia. Warisan nilai-nilai luhur budaya dan religiusitas bangsa Indonesia yang masih dijadikan pedoman hidup berkeluarga di masyarakat Indonesia harus dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dalam konteks pemikiran Ki Hadjar, pendidikan tidak cukup hanya membuat anak menjadi pintar atau unggul dalam aspek kognitifnya. Pendidikan harusnya mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak seperti daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif). Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu mengembangkan anak menjadi mandiri dan sekaligus memiliki rasa kepedulian terhadap orang lain, bangsa, dan kemanusiaan, sehingga anak menjadi seorang yang humanis dan lebih berbudaya.

3.      Tringga (ngerti, ngrasa, nglakoni)

Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya. Oleh sebab itulah Ki Hadjar Dewantara menciptakan konsep tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya.
Menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus mengamalkan perjuangan itu. “Ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak berbuah”, “Ngelmu tanpa laku kothong”, “laku tanpa ngelmu cupet”. Ilmu tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus dengan ilmu.

4.      Asas Tri-kon

Ki Hadjar Dewantara mencipakan asas Tri-kon (kontinyu, konvergensi, dan konsentris), yang menyebutkan bahwa pertukaran kebudayaan dengan dunia luar harus dilakukan secara kontinyu dengan alam kebudayaannya sendiri, lalu konvergensi dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang ada. Jika sudah bersatu dalam alam universal, bersama-sama mewujudkan persatuan dunia dan manusia yang konsentris. Konsentris berarti bertitik pusat satu dengan alam-alam kebudayaan sedunia, tetapi masih tetap memiliki garis lingkaran sendiri-sendiri.

Ada pun nilai-nilai luhur universal, yaitu :
a.       Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
b.      Kemandirian dan tanggung jawab
c.       Kejujuran/amanah, diplomatis
d.      Hormat dan santun
e.       Dermawan, suka tolong-menolong, dan gotong-royong/kerjasama
f.       Percaya diri dan pekerja keras
g.      Kepemimpinan dan keadilan
h.      Baik dan rendah hati
i.        Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

UNESCO sebagai Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan di bawah naungan PBB dan memiliki lebih anggota dari 100 negara juga memiliki empat pilar pendidikan apabila dibandingkan dengan ajaran Ki Hadjar Dewantara yaitu konsep Tringa “Ngerti-Ngrasa-Ngalokoni sebenarnya mempunyai kesamaan makna.  Learning to know (belajar mengetahui) sama dengan “Ngerti”.  Keduanya berarti seorang yang terpelajar harus mengetahui hal-hal yang bermanfaat untuk kehidupannya. Learning to do (belajar melakukan sesuatu) mempunyai makna sama dengan “Nglakoni.  Hal ini seseorang dituntut untuk melaksanakan apa yang telah diketahui dan dirasa menguntungkan diri sendiri. Kita tidak dianjurkan hanya memaknai suatu hal namun juga harus mampu melaksanakannya.  Sehingga dapat Learning to be (belajar menjadi sesuatu) dan Learning to live together (belajar hidup bersama) dengan sesamanya “Ngrasa”. 

Setidaknya sejarah akan lebih bermakna apabila kita kaji isinya untuk evaluasi dimasa mendatang. Sebagaimana konsep yang telah di tinggalkan oleh bapak pendidikan kita, bukan hanyalah sebuah sejarah tetapi sebuah konsep pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa apa bila di terapkan dan di kaji lebih dalam lagi.



JOGO TONGGO (GOTONG ROYONG SAK LAWASE)

Pada kesempatan kali ini kita akan sedikit membahas program Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam menangani Covid-19, yaitu p...