Berawal dari kisah
kerajaan Mataram islam yang dipimpin oleh Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma
(Bahasa Jawa: Sultan Agung Adi Prabu Hanyokrokusumo, adalah Sultan ke-tiga
Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah
kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan
Nusantara pada saat itu.
Di sisi lain Ki Ageng
Cempaluk yang merupakan mantan prajurit mataram yang kemudian mengasingklan
diri di daerah Kasisian (Pengasingan) atau yang sekarang lebih di kenal dengan
sebutan daerah Kesesi memerintahkan anaknya yang bernama Joko Bahu utuk
mengapdikan diri kepada kerajaan Mataram.
Konon kesaktian Ki
Ageng Cempaluk sudah lama terdenar oleh kerajaan Mataram, sehingga Joko Bahu di
terima di Kerajaan Mataram. Namun bukan berarti Joko Bahu tidak di uji. Dalam ketentuan
kerajaan bahwa tiap prajurit yang akan mengapdikan diri pada Kerajaan harus
melalui beberapa tahap ujian.
Pendadaran tahap
pertama yang diberikan Sultan Agung adalah: membendung kali Sambong, karena
setiap musim kemarau selalu saja sawah-sawah rakyat disepanjang aliran sungai
itu sering mengalami kekeringan. Dengan membendung kali sambong di Kabupaten
Batang diharapkan air dapat naik dan mengairi sawah-sawah disekitar tempat itu,
sehingga hasil panen akan meningkat. Hal itu adalah salah satu kebijakan raja
mataram untuk meningkatkan kemakmuran negerinya di bidang pertanian.
Sedang Kali sambong
sendiri terkenal angker, dan sudah beberapa kali di lakukan pembendungan namun
selalu mengalami kegagalan. Joko Bahu berangkat untuk membendung kali sambong,
dengan perbolehkan membawa beberapa orang prajurit. Setelah pembendungan
dimulai sedikit demi sedikit, ditengah berlangsungnya proyek pembendungan
terjadilah keanehan-keanehan. Setiap pagi ketika para prajurit hendak
melanjutkan pekerjaan mereka yang belum selesai, mereka mendapati tanggul yang
mereka kerjakan kemarin telah rontok dan rusak kembali.
Kejadian itu terus
berulang-ulang sampai tiga hari berturut-turut. Tentu saja hal itu membuat Joko
Bahu menjadi bingung bukan kepalang. Hingga akhirnya Joko Bahu melakukan tapa
brata dan bertemu dengan siluman yang menunggui kali itu. Konon siluman itu adalah
welut putih, hingga terjadi tawar-menawar kepentingan antara kedua belah pihak.
Namun tak ada mendapat kata sepakat alias buntu. Maka terjadilah perkelahian
sengit antara dua belah pihak dan di menangkan Joko Bahu.Keberhasilan Joko Bahu
menjalankan pendadaran tahap pertama ini di sambut gembira oleh Sultan Agung.
Pendadaran tahap kedua
yakni membuka lahan baru di tepi pantai utara sebelah Kabupaten Batang, yakni
alas GAMBIRAN (gambaran) letaknya disekitar jembatan Anim dan desa Sorogenen,
Waktu itu alas gambiran adalah alas yang sering dihindari oleh para rombongan
pedagang yang melakukan pejalan jauh karena keadaannya yang angker dan tak
tersentuh. Para rombongan pedagang yang melakukan pejalan jauh lebih memilih
lewat daerah sebelah selatan yang lebih aman.
Karena konon setiap
orang yang masuk kehutan gambiran pasti dia hanya akan berputar-putar
didalamnya dan tak pernah bisa kembali keluar lagi dengan selamat. Begitupun yang
di alami para prajuritnya Joko Bahu yang memasuki hutan itu dan mereka tak
kembali lagi. Mereka hanya berputar-putar tak tentu.
Kemudian al-kisah Joko
Bahu melakukan tapa brata yaitu tapa ngidang atau meniru sifat kidang. Akan tetapi
Joko Bahu tetap tak mampu untuk mengalahkan raja siluman penunggu hutan itu.
maka dengan sigap Joko Bahu segera pulang ke padepokan kesesi untuk mengadukan
hal tersebut pada ki ageng cempaluk. Atas saran Ki Ageng Cempaluk, Joko Bahu di
sarankan untuk melakukan "Tapa Ngalong" tapa brata yang menirukan
posisi Kalong, yaitu dengan tidur kaki dengan menggantung di pohon tiap siang
selama 40 hari.
Dalam pertapaannya
diceritakan bahwa Joko Bahu digoda dan diganggu Dewi Lanjar beserta para
prajurit siluman yang merupakan pengikutnya. Namun semua godaan Dewi Lanjar
beserta para pengikutnya dapat dikalahkan bahkan tunduk kepada Joko Bahu.
Setelah empat puluh
hari berlalu, seselesailah tapa-ngalongnya, singkat cerita Joko Bahu dapat
mengalahkan raja siluman itu dan bisa melanjutkan menebang kayu-kayu di daerah
tersebut tanpa ada satu hambatanpun sampai selesai dan dapat pulang ke mataram
dengan membawa hasil.
Sultan Agung gembira
dengan pencapaian yang di lakukan oleh Joko Bahu. Setelah Joko Bahu kembali ke
Mataram, Sultan Agung langsung menganugrahkan gelar Adipati dengan julukan KI-JOKO
BAHU dan sekaligus di tempatkan sebagai bupati kendal.
Sultan Agung kemudian
mengirim Joko Bahu yang telah menjadi bupati Kendal untuk menaklukkan Sukadana
(Kalimantan sebelah barat daya) tahun 1622 dan berhasil menyelesaikan misi
tersebut dengan baik. Akan tetapi cerita tak berakhir sampai di situ karena
masih ada tugas yang terbengkalai, yaitu pendadaran tahap ke tiga. Maka
belumlah sempurna Joko Bahu menjadi prajurit Mataram kalau belum menjalankan
tugas ketiga. Ia di tugaskan untuk melamarkan seorang putri cantik dari Kali
Salak yang bernama Nyi Rantang Sari.
Singkat cerita Nyi
Rantang Sari yang hendak dipersembahkan Sultan Agung justru jatuh cinta pada Joko
Bahu dan tak mau dibawa untuk di persembahkan ke Mataram. Maka timbulah inisiatif
dari Joko Bahu untuk mengganti dengan seorang putri yang tak kalah cantiknya
yaitu Endang Kalibeluk, seorang putri anak penjual srabi di desa Kali Beluk (sampai
sekarang Kali Beluk terkenal dengan kue Surabi/Srabi)
Akan tetapi sungguh
sial, setelah disandingkan dengan Sultan Agung Endang Kalibeluk tak kuasa
menahan luapan kegembiraannya dan akhirnya dia mengaku kalau dirinya bukan Rantang
Sari yang dimaksud Sultan Agung. Hal ini tentu membuat Sultan marah besar. Dia
merasa telah di tipu oleh Joko Bahu. Hingga Sultan memutuskan untuk meringkus
Joko Bahu dan akan di jatuhi hukuman mati.
Akan tetapi keputusan
untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Joko Bahu, dapat di cegah oleh patih Singaranu
dan dia menyarankan agar Sultan mengganti dengan tugas pendadaran ketigannya
dengan tugas yang sangat berat agar Joko Bahu terbunuh dengan sendirinya.
Maka Sultan Agung
menugaskan Joko Bahu tugas yang sangat berat yaitu menyerang Belanda di Batavia
(Jaya Karta) sekarang menjadi kota Jakarta. Singkat cerita berangkatlah Joko
Bahu menyiapkan armada perang menuju Batavia (Jaya Karta). Dia memilih melewati
jalur laut, atas saran Ki Cempaluk sebap jalan darat konon senjata pusaka
apapun akan hilang tuah atau kesaktiannya jika melintasi kali Ci-Pamali Brebes.
Joko Bahu mempersiapkan tentaranya di sebuah desa yang bernama Ketandan daerah Wiradesa
"wira" artinya prajurit , "desa" itu kampung jadi Wira-Desa
adalah perkampungan prajurit dari situlah Joko Bahu bertolak ke Batavia (Jaya
Karta). pada 27 Agustus 1628 pasukan Mataram dipimpin Joko Bahu tiba di Batavia.
Di Batavia (Jaya Karta)
konon pasukannya dikumpulkan di sebuah daerah yang sekarang bernama Matraman
yang artinya mataram-man dan membendung sungai ciliwung hingga Gubernur
jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal terserang kolera. Akan tetapi Belanda
tak kehabisan akal mereka membakar lumbung-lumbung makanan tentara mataram
sehingga mereka kehabisan perbekalan dan Joko Bahu menderita kekalahan.Kekalahan
itu membuat Joko Bahu tak berani pulang ke Kadipaten Kendal dia memilih
mendirikan kraton ke Kadipatenan yang letaknya di sebelah selatan Wiradesa
tepatnya yang sekarang bernama desa Kadipaten (yang artinya di situ pernah akan
di jadikan kadipaten).