Penulis : Umar Kayam
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun Terbit : 1975
Halaman : 126 Halaman
Berat Buku : 0,15
Dimensi( L x P ) : 14,5 x 21 cm
Sri
Sumarah bercerita tentang seorang perempuan yang menjadi istri seorang guru
yang dipanggil bu guru pijit karena dia punya keahlian memijit. Dia bernama
asli Sri sumarah yang memiliki arti pasrah. Dia terbiasa pasrah menjalani hidup
sejak kecil. Dia selalu di didik dengan cara jawa oleh neneknya, dia di ajarkan
untuk selalu patuh terhadap suaminya apapun perintahnya. Dia di ibaratkan
sebagai Subadra isrri arjuna yang paling
setia dan selalu sabar meskipun suaminya menikah berkali-kali dengan perempuan
lain. Hal ini pun sedikit banyak harus pula di alami Sri ketika suaminya di
anjurkan oleh camat untuk menikah lagi bahkan pak camat pun telah menyiapkan
calonnya.
Sri
Sumarah mengisahkan jiwa seorang Jawa yang tumbuh dalam suatu lingkungan
kebudayaan Jawa, menghadapi berbagai tantangan dan perubahan jaman, dengan
lukisan-lukisan alam perasaan dan alam perkembangan sastra Indonesia. Nama
tokoh ini berarti Sri yang menyerah, terserah, atau pasrah. Sikap ini diajarkan
oleh neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya pula. Sikap sumarah
diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan neneknya dengan Mas
Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati suaminya, ketika harus berjuang membesarkan
Tun anaknya dan mendapatinya hamil di luar nikah, dan juga ketika menghadapi
kematian Yos menantunya yang dibunuh dan Tun ditahan di penjara sebab terlibat
gerakan PKI.
Setelah peristiwa tragedi Yos dan Tun
itu, Sri lah yang mengurus Ginuk, cucu satunya-satunya. Sikap sumarah tetap
dijalankannya. Sikap itu mengiringinya selama berusaha memenuhi hidup. Ia
memilih menjadi tukang pijit. Memijit dipilihnya sebagai pekerjaan setelah
mendapat wisik saat bertirakat. Sejak itu ia memulai perjalanan hidup baru
dengan modal memijit. Pekerjaan memijit Sri dinilai bagus oleh masyarakat. Oleh
karena itu, ia mendapat cukup uang untuk menghidupi dirinya, Tun, dan Ginuk.
Pekerjaan ini dijalani Sri dengan biasa-biasa saja, meskipun ia harus banyak
melakukan kontak fisik dengan laki-laki. Sikap bakti berperan di sini. Namun,
hatinya sempat goyah ketika suatu hari harus memijit seorang pelanggan pria
muda yang tampan dan gagah.
Sri
menghadapi masalah setelah Tun dipenjara. Saat itu Sri benar-benar mengalami
kesulitan ekonomi. Sawah dan rumah telah dikuasai BTI (Barisan Tani Indonesia,
gerakan yang dinaungi PKI), perhiasan habis untuk mengangsur utang, dan
persediaan uang semakin menipis. Apa yang harus dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya di saat seperti seperti itu? Jawabannya terlihat dalam
kutipan berikut. Uang? Menipis dan menipis. Dalam satu-dua minggu pasti habis.
Lantas? Sri sumarah, sumarah. Seperti biasa dalam keadaan begitu dia akan ingat
embah dan suaminya.Sri kemudian bertekad untuk tirakat, tidur kekadar di luar,
malamnya. Reaksi Sri dalam menghadapi masalah itu adalah dengan sumarah. Ia
tidak menyerah begitu saja, melainkan ia mengambil langkah untuk bertirakat.
Caranya dengan tidur sekadarnya dan menunggu datangnya wisik. Wisik adalah
pitoedoeh (wewarah) atau gaib, artinya petunjuk gaib. Wisik itu diperoleh Sri
kemudian, dan ditafsirkannya sebagai petunjuk bahwa ia harus bekerja sebagai
tukang pijit demi melanjutnya hidupnya.
Bawuk,
putri bungsu keluarga Suryo, putri seorang 'onder,' priyayi Jawa. Sejak kecil
ia telah menumbuhkan sifat-sifat kerakyatan, berbeda denga keempat kakaknya.
Hal ini tampak dalam sikapnya yang menghargai para pembantunya. Hanya Bawuk
seorang yang memahami kepedihan ibunya, yang terpaksa melihat suaminya
tenggelam dalam pelukan ledek (penari), dalam suatu pesta di Kabupaten. Setelah
dewasa, Bawuk berkenalan dengan Hassan, seorang aktivis Partai Komunis.
Kemudian mereka menikah dan mempunyai seorang putri dan putra. Ketika peristiwa
G 30 S meletus, Hassan ikut terlibat dan terus dikejar tentara. Maka Bawuk
beserta kedua anaknya terpaksa pindah dari satu kota ke kota lain, untuk
mengikuti suaminya yang terpaksa terus melarikan diri dari kejaran tentara. Akhirnya,
bawuk mengambil keputusan. Ia datang ke kota tempat tinggal ibunya, untuk
menitipkan kedua anaknya. Tak mungkin ia membawa-bawa kedua anaknya dalam
pelarian itu. Anak-anaknya butuh kehidupan yang layak dan bersekolah dengan
tenang. Di rumah ibunya, Bawuk disambut oleh keempat kakak beserta ipar-iparnya
yang telah mapan: seorang brigjen, dosen di ITB, dirjen di salah satu
departemen, dan seorang dosen lagi di Gadjah Mada. Mereka terus membujuk Bawuk
agar tetap tinggal di kota itu. Namun Bawuk telah berketetapan hati untuk terus
mencari suaminya. Dengan tegar ia menjelaskan bahwa sebagai isteri, ia tetap
harus menemui suaminya. Hanya saja kedua anaknya dititipkan kepada ibunya.
Semua kakaknya sulit menerima keputusan itu. Hanya sang ibu yang dapat memenuhi
keputusan Bawuk. Cerita ditutup dengan suara sayup anak-anak Bawuk yang sedang
belajar mengaji. Bu Suryo membaca dalam surat kabar, bahwa G 30 S telah
ditumpas dan Hassan, menantunya ialah salah seorang yang diberitakan tertembak
mati. Tapi Bawuk tak ketahuan rimbanya.
a. Unsur
Intrinsik
1) Tema
Dalam
cerpen “Sri Sumarah dan Bawuk” bahwa tema yang dijadikan inspirasi oleh penulis
adalah mengangkat kehidupan tokoh
(keluarga) Jawa. Karya-karya itu dipandang banyak kritikus “mewakili” citra
manusia (wanita) Jawa. Disini penulis berusaha membandingkan berdasarkan hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa tokoh utama wanita dalam cerpen Sri Sumarah dan Bawuk
memiliki persamaan dan perbedaan dalam hal perwatakan baik secara fisik,
psikis, maupun sosial.
2) Latar
Cerpen
ini mengisahkan kehidupan mayarakat Jawa pada zaman orde baru dalam masa
perkembangan sastra Indonesia. Pedesaan dijadikan tempat utama karena menurut
pengamatan penulis dimana
pedesaan tersebut merupakan setting dalam cerpen Sri Sumarah Dengan penggambaran Pedesaan yang memunculkan beberapa
konflik antar tokoh yang di dasari kebudayaan setempat. Dalam cerpen Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam
menampilkan seorang tokoh yang hidup di Pedesaan dan Perkoataan adalah setting kedua
setelah Pedesaan, Perkotaan menjadi pusat segala pusat dalam berbagai hal.
Banyak hal yang di alami Sri didesa akhirnya Sri pindah ketempat anaknya yaitu
Tun. Kehidupan dikota jelas sekali berbeda dengan didesa nilai-nilai kebudayan
jawa seperti (tata karama, bahasa jawa dan kebiasaan) sudah mulai luntur di
gantinya dengan kebudayan yang semakin modern.
3) Alur
Dilihat
dari cerita cerpen ini, “Sri Sumarah dan
Bawuk” termasuk alur maju artinya kejadian dan urutan ceritanya disusun secara
runtut dari awal sampai akhir.
4) Gaya
Penulisan
Cerpen
ini merupakan
karya Umar Kayam yang diterbitkan dalam satu buku berjudul Sri Sumarah dan
Cerita Pendek Lainnya oleh penerbit Pustaka Jaya tahun 1986. Dalam gaya
penulisan cerpen ini masih bersih dari dari istilah bahasa jawa, itu pun hanya
sekedar pemanis yang dapat membawa pembaca lebih mendalami isi cerita. Seperti
dapat di ambil contoh pada penulisan kata Wisik, Ledek, Nrima dan lain
sebagainya. Mungkin untuk penulis cerpen angkatan
sekarang ( muda ) kata itu di ganti dengan kata Petunjuk, Penari, Menerima dan
lain sebagainya.
5) Sudut
Pandang
Sudut
pandang adalah cara atau pandangan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan
tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita. Dalam
cerpen Sri dan Bawuk susut pandang yang di gunakan adalah pandangan orang
pertama yaitu aku yang menjadi tokoh utama. Hal ini membuat para pembaca seolah
ikut mengalami dan merasakan kehidupan si aku.
6) Tokoh
dan Penokohan
-
Sri : Berusia
hampir setengah abad; bersuara merdu; gaya bicaranya halus dan sopan; serta
suka berpakaian kebaya. Secara psikis, Sri bersifat sumarah; amanat; jujur;
memiliki tekad yang kuat; tidak mudah putus asa; tegar; patuh; memiliki
keahlian menyanyikan tembang Jawa dan memijit. Secara sosial, Sri dari keluarga
miskin; pendidikannya sampai tingkat SKP; bersuamikan guru; memiliki seorang
anak; dan bekerja sebagai tukang pijit.
-
Bawuk : Bawuk berusia
35 tahun; gaya bicaranya bebas, banyak bicara, dan penuh humor; serta tidak
lagi memakai kebaya. bersifat ceria; bersemangat tinggi; penuh vitalitas dan
optimisme; pandai berbicara dengan kata-kata bijak; cerdas; disiplin dan
mandiri; memiliki kecenderungan ‘bohemian’; dan tidak membeda-bedakan. Bawuk
dari keluarga kaya; ia berpendidikan europeesch; bersuamikan tokoh PKI; memiliki
dua anak; dan ikut organisasi Gerwani.
-
Mas Marto : Suami
Sri, Seorang Guru, baik hati, Penyayang, bertanggung jawab.
-
Tun : Anak Sri,
penyayang, penurut.
-
Yos : Menantu Sri.
-
Ginuk : Cucu Sri
-
Hassan : suami Bawuk,
seorang aktivis partai komunis (PKI).
-
Bu Suryo : Ibu
Hassan
7) Amanat
Banyaknya
makna tersirat dengan berbagai kompleksitasnya menempatkan cerpen Sri Sumarah
dan Bawuk tidak hanya kaya dengan makna-makna simbolik. Dapat dilihat dari
perjuangan dan kepasrahan Sri ketika ditinggal mati suaminya, Dia membesarkan
Tun seorang diri.
8) Pencitraan
b. Unsure
Ekstrinsik
1) Biografi
Pengarang
2) Nilai
-
Budaya
Nilai kebudayaan yang terdapat dalam cerpen Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam
adalah kebudayaan Jawa yang sangat melekat dalam tokoh utama yaitu Sri sebagai
asli orang Jawa menurut garamsci konsep kebudayaan serupa itu sungguh-sungguh
berbahaya, khususnya bagi kaum Proletariat (kelas bawah). Kebudayaan jawa
lainnya adalah ketika Yos bermain teater mereka sengaja memainkan karakter
kerajan-kerajaan pepunden yang harus kita hormati dijawa misalnya, ketoprak,
tembang jawa(yen ing tawang ana lintang), rengeng-rengeng. Di cerpen Sri Sumarah dan Bawuk Karya Umar Kayam kebudayan Jawa mempresentasikan bagaimana
kebudayaan Jawa mengikat seorang perempuan yaitu tokoh utama Sri Sumarah.
-
Sosial
Secara sosial, Sri dari keluarga
miskin; pendidikannya sampai tingkat SKP; bersuamikan guru; memiliki seorang
anak; dan bekerja sebagai tukang pijit. Sedangkan Bawuk dari keluarga kaya; ia
berpendidikan europeesch; bersuamikan tokoh PKI; memiliki dua anak; dan ikut
organisasi Gerwani.
-
Agama
Kepercayaan populer yang terdapat
dalam cerpen Sri Sumarah dan Bawuk
Karya Umar Kayam yaitu :
Sri diwajibkan minum jamu galian
secara teratur agar badanya tetap singset dan sintal. Sri berpuasa sepasar lima hari:
Berpuasa selama lima hari merupakan mitos orang jawa yang di percayai jika
berpuasa lima hari maka ketika Sri mengadakan hajatan atau kerja mantu akan
berhasil dan sukses karena Sri sebagai orang jawa yang percaya dengan adanya
mitos tersebut Sri melakukan puasa pasar yang bertujuan menyukseskan acara
hajatan.Itu aspek kebahasaan ya?
Bawuknya dimana ya kok nggak ada di bawahh hhmmmm wes namae bauk gaonok gunae maneh aneh
ReplyDeleteiya saya setuju
Deleteiya podo ak yoiyo
Deletegege
Delete