Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris:
semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda”
atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan
kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique) seperti
yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari:
1. Komponen yang mengartikan, yang berwujud
bentuk-bentuk bunyi bahasa.
2. Komponen yang diartikan atau makna dari komponen
yang pertama itu.
Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang,
sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar
bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Filsafat dengan semantik memiliki hubungan sangat
erat. Hal itu terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan
merupakan dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Sementara pada sisi lain,
aktivitas berpikir itu sendiri tidak berlangsung tanpa adanya bahasa sebagai
medianya. Dalam situasi tersebut, bahasa pada dasarnya juga bukan hanya sekadar
media proses berpikir maupun penyampai hasil pikiran.
Filsuf Bertran Russel menyatakankan bahwa ketepatan
menyusun symbol kebahasaan secara logis merupakan dasar dalam memahami struktur
realitas secara benar. Sebab itu,kompleksitas symbol juga harus memiliki
kesesuaian dengan kompleksitas realitas itu sendiri sehingga antara keduanya
dapat berhubungan secara tepat dan benar (Alston, 1964:2). Sehubungan dengan
masalah tersebut, bahasa memang masih memiliki sejumlah kekurangan. Bahasa
sehari-hari yang biasa kita gunakan, misalnya, bisa dikaitkan dengan kegiatan
filsafat, mengandung kelemahan, antara lain dalam hal (1) vagueness, (2)
inexplicitness, (3) ambiguity, (4) context-dependence, serta (5) misleadingness
(Alston : 1964:6)
Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang
terkandung di dalam suatu bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili
realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga
mawar. Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk
kebahasaan. Kata bunga, misalnya, dapat berkaitan dengan “bunga mawar”, “Bunga
melati”, “bunga anggrek” maupun ‘gadis. Begitu juga untuk menentukan makna kata
tinggi, bisa, mampu, seseorang harus mengetahui dimana konteks itu berada.
Meskipun demikian, dalam dunia kepenyaian, kesamaran makna itu justru
dimanfaatkan untuk memperkaya gagasanyang disampaikannya. Pernyataan penyair
Goenawan Mohammad yang berbunyi :
Akupun tahu: sepi kita semula
Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
Mengekalkan yang esok mungkin tak ada
Pada sisi lain bukan hanya menggambarkan suasana
sepi, dingin yang dibagi pohon-pohon maupun esok yang mungkin tidak ada,
melainkan juga mampu membawa pembaca kepada pemikiran filosofis tentang hakikat
keberadaan manusia serta kehidupan itu sendiri. Dari contoh itu juga dapat
diambil kesimpulan bahwa kesamaran makna suatu bahasa sebenarnya juga akibat
‘kelebihan’ bahasa itu sendiri yang memiliki multifungsi, yakni selain sebagai
berfungsi “simbolik”, bahasa juga memiliki fungsi emotif dan afekstif. Selain
itu, adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi factor penyebab
kesamaran dan ketaksaan makna.
Akibat lebih lanjut dari adanya kekaburan dan
ketaksaan makna adalah terjadinya inexplicitness, sehingga bahasa sering kali
tidak mampu secara eksak, tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang sirepresemtasikannya.
Selain itu, pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah-pindah maknanya sesuai
dengan konteks gramatik, social, serta konteks situasional dalam pemakaian,
sehingga juga mengalami context-depent. Dari adanya sejumlah kekurangan di atas,
tidak mengherankan apabila paparanlewat bahasa sering mengandung misledingness
sehubungan dengan keberadaannya dalam komunikasi. Pernyataan seperti Wah, Ali
sudah parah, misalnya, dapat saja dimaknai “Ali sakitnya sudah parah”,
sementara yang dimaksud penutur mungkin, “nilai Ali sangat jelek”. “Ali sangat
nakal dan sulit dinasihati”, “hubungan Ali dengan Ani sudah sedemikian
jauhnya”, serta sejumlah maksud isi pesan lainnya. Dlam situasi demikian
itulah, pemilihan kata, pengolahan dan penataan unsure gramatikal maupun
konteks harus dilakukan secara tepat dan cermat.
Semantik telah melepaskan diri dari filsafat, tetapi
tidak berarti filsafat tidak membantu perkembangan semantik. Pada tahun 1923
muncul buku The Meaning of Meaning karya Ogden & Richards yang menerangkan
hubungan tiga unsur dasar, yakni ‘thought of reference’ (pikiran) sebagai unsur
yang menghadirkan makna tertentu yang memiliki hubungan signifikan dengan
referent(acuan). Pikiran memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang).
Lambang tidak memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak
memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik
biasa menentukan fakta bahwa asal kata meaning(nomina) dari to mean (verba), di
dalamnya banyak mengandung ‘meaning’ yang berbeda-beda. Leech (1974) menyatakan
bahwa ahli-ahli semantik sering tidak wajar memikirkan’the meaning of meaning’
yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung
menerangkan semantik dalam hubungannya dengan ilmu lain; para ahli sendiri
masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat
dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.
Semantik maupun bahasa memiliki keterkaitan dengan
filsafat seperti ontologi, epistomologi, metafisika yang berhubungan dengan
logika. Semantik berperan aktif sebagai penentu baik dari pernyataan benar
ataupun salah yang diberikan dari premis dan kesimpulan yang diberikan.
No comments:
Post a Comment