Tuesday, March 3, 2015

SEMANTIK DAN FILSAFAT



Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris: semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti “tanda” atau “lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah tanda linguistik (Perancis: signe linguistique) seperti yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1966), yaitu yang terdiri dari:
1.      Komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa.
2.      Komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama itu.
Kedua komponen ini merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau dilambangi adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.
Filsafat dengan semantik memiliki hubungan sangat erat. Hal itu terjadi karena dunia fakta yang menjadi objek perenungan merupakan dunia simbolik yang terwakili dalam bahasa. Sementara pada sisi lain, aktivitas berpikir itu sendiri tidak berlangsung tanpa adanya bahasa sebagai medianya. Dalam situasi tersebut, bahasa pada dasarnya juga bukan hanya sekadar media proses berpikir maupun penyampai hasil pikiran.
Filsuf Bertran Russel menyatakankan bahwa ketepatan menyusun symbol kebahasaan secara logis merupakan dasar dalam memahami struktur realitas secara benar. Sebab itu,kompleksitas symbol juga harus memiliki kesesuaian dengan kompleksitas realitas itu sendiri sehingga antara keduanya dapat berhubungan secara tepat dan benar (Alston, 1964:2). Sehubungan dengan masalah tersebut, bahasa memang masih memiliki sejumlah kekurangan. Bahasa sehari-hari yang biasa kita gunakan, misalnya, bisa dikaitkan dengan kegiatan filsafat, mengandung kelemahan, antara lain dalam hal (1) vagueness, (2) inexplicitness, (3) ambiguity, (4) context-dependence, serta (5) misleadingness (Alston : 1964:6)
Bahasa memiliki sifat vagueness karena makna yang terkandung di dalam suatu bentuk kebahasaan pada dasarnya hanya mewakili realitas yang diacunya. Penjelasan secara verbal tentang aneka warna bunga mawar. Ambiguity berkaitan dengan ciri ketaksaan makna dari suatu bentuk kebahasaan. Kata bunga, misalnya, dapat berkaitan dengan “bunga mawar”, “Bunga melati”, “bunga anggrek” maupun ‘gadis. Begitu juga untuk menentukan makna kata tinggi, bisa, mampu, seseorang harus mengetahui dimana konteks itu berada. Meskipun demikian, dalam dunia kepenyaian, kesamaran makna itu justru dimanfaatkan untuk memperkaya gagasanyang disampaikannya. Pernyataan penyair Goenawan Mohammad yang berbunyi :
Akupun tahu: sepi kita semula
Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
Mengekalkan yang esok mungkin tak ada
Pada sisi lain bukan hanya menggambarkan suasana sepi, dingin yang dibagi pohon-pohon maupun esok yang mungkin tidak ada, melainkan juga mampu membawa pembaca kepada pemikiran filosofis tentang hakikat keberadaan manusia serta kehidupan itu sendiri. Dari contoh itu juga dapat diambil kesimpulan bahwa kesamaran makna suatu bahasa sebenarnya juga akibat ‘kelebihan’ bahasa itu sendiri yang memiliki multifungsi, yakni selain sebagai berfungsi “simbolik”, bahasa juga memiliki fungsi emotif dan afekstif. Selain itu, adanya sinonimi, hiponimi, maupun polisemi juga menjadi factor penyebab kesamaran dan ketaksaan makna.
Akibat lebih lanjut dari adanya kekaburan dan ketaksaan makna adalah terjadinya inexplicitness, sehingga bahasa sering kali tidak mampu secara eksak, tepat dan menyeluruh mewujudkan gagasan yang sirepresemtasikannya. Selain itu, pemakaian suatu bentuk sering kali berpindah-pindah maknanya sesuai dengan konteks gramatik, social, serta konteks situasional dalam pemakaian, sehingga juga mengalami context-depent. Dari adanya sejumlah kekurangan di atas, tidak mengherankan apabila paparanlewat bahasa sering mengandung misledingness sehubungan dengan keberadaannya dalam komunikasi. Pernyataan seperti Wah, Ali sudah parah, misalnya, dapat saja dimaknai “Ali sakitnya sudah parah”, sementara yang dimaksud penutur mungkin, “nilai Ali sangat jelek”. “Ali sangat nakal dan sulit dinasihati”, “hubungan Ali dengan Ani sudah sedemikian jauhnya”, serta sejumlah maksud isi pesan lainnya. Dlam situasi demikian itulah, pemilihan kata, pengolahan dan penataan unsure gramatikal maupun konteks harus dilakukan secara tepat dan cermat.
Semantik telah melepaskan diri dari filsafat, tetapi tidak berarti filsafat tidak membantu perkembangan semantik. Pada tahun 1923 muncul buku The Meaning of Meaning karya Ogden & Richards yang menerangkan hubungan tiga unsur dasar, yakni ‘thought of reference’ (pikiran) sebagai unsur yang menghadirkan makna tertentu yang memiliki hubungan signifikan dengan referent(acuan). Pikiran memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan langsung dengan symbol (lambang). Lambang tidak memiliki hubungan yang arbitrer. Sehubungan dengan meaning, para pakar semantik biasa menentukan fakta bahwa asal kata meaning(nomina) dari to mean (verba), di dalamnya banyak mengandung ‘meaning’ yang berbeda-beda. Leech (1974) menyatakan bahwa ahli-ahli semantik sering tidak wajar memikirkan’the meaning of meaning’ yang diperlukan untuk pengantar studi semantik. Mereka sebenarnya cenderung menerangkan semantik dalam hubungannya dengan ilmu lain; para ahli sendiri masih memperdebatkan bahwa makna bahasa tidak dapat dimengerti atau tidak dapat dikembangkan kecuali dalam makna nonlinguistik.
Semantik maupun bahasa memiliki keterkaitan dengan filsafat seperti ontologi, epistomologi, metafisika yang berhubungan dengan logika. Semantik berperan aktif sebagai penentu baik dari pernyataan benar ataupun salah yang diberikan dari premis dan kesimpulan yang diberikan.

No comments:

Post a Comment

JOGO TONGGO (GOTONG ROYONG SAK LAWASE)

Pada kesempatan kali ini kita akan sedikit membahas program Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah dalam menangani Covid-19, yaitu p...