“SRI
SUMARAH DAN BAWUK”
Nuansa
Jawa yang kental terlihat di cerpen yang menceritakan makna nama yang
tersandang oleh tokoh Sri Sumarah. Cerpen ini cukup panjang hingga dapat juga
disebut novelet. Nama tokoh ini berarti Sri yang menyerah, terserah, atau
pasrah. Sikap ini diajarkan oleh neneknya dan ingin diajarkannya pada anaknya
pula. Sikap sumarah diterjemahkan Sri sebagai kepasrahan ketika dijodohkan
neneknya dengan Mas Marto, suaminya. Juga ketika ditinggal mati suaminya, ketika
harus berjuang membesarkan Tun anaknya dan mendapatinya hamil di luar nikah,
dan juga ketika menghadapi kematian Yos menantunya yang dibunuh dan Tun ditahan
di penjara sebab terlibat gerakan PKI.
Nama
tokoh Sri Sumarah menjadi simbol yang menyatakan gambaran sikap orang Jawa pada
umumnya dalam menanggapi kehidupan. Memang menjadi masalah bagi ilmu sosial
yang selalu mengambil kesimpulan berdasarkan data yang tersedia. Namun, dalam
sastra dimungkinkan bagi kita untuk mengambil kesimpulan secara generalisasi.
Jadi, pertanyaan tentang apakah tokoh Sri Sumarah dapat dijadikan sampel yang
cukup untuk melukiskan sikap-sikap orang Jawa tradisional bisa dijawab dengan
kata ‘ya’. Ignas Kleden mengatakan hal ini disebabkan oleh hubungan antara
peristiwa dan makna dalam sastra tidak bersifat fungsional, melainkan hubungan
simbolik. Dalam hal ini, Sri menjadi simbol yang dapat menyatakan hal yang
lainnya secara umum. Sri dapat mewakili orang Jawa keseluruhan.
Sri
memegang betul sikap sumarah, sebuah sikap pasrah, menyerah, atau menerima
keadaan yang datang dalam hidupnya. Makna sikap yang menjadi bagian budaya Jawa
ini diungkapkan Umar Kayam dalam kutipan berikut.
Sri
Sumarah yang artinya Sri yang “menyerah” atau yang “terserah” menyerah saja
waktu neneknya menyatakan kepadanya bahwa saatnya sudah tiba untuk menyiapkan
diri naik ke jenjang perkawinan. (hlm.8)
“Bukannya kebetulan nduk, namamu Sri
Sumarah. Dari nama itu kau diharap berlaku dan bersikap sumarah, pasrah,
menyerah. Lho, ini tidak berarti lantas kau diaaaam saja, nduk. Menyerah di
sini berarti mengerti dan terbuka tetapi tidak menolak. Mengerti nduk?”
(hlm.10)
Pengarang membeberkan arti sumarah dengan gamblang. Selaras dengan arti yang dikemukakan oleh pengarang, menurut Baoesastra Djawa, sumarah berasal dari kata soemarah yang artinya pasrah, manoet mitoeroet. Jadi selain pasrah, sumarah dapat pula berarti ‘menurut’. Sikap ini mengajarkan agar manusia pasrah atau menuruti takdir yang telah digariskan Tuhan. Peristiwa atau ujian apa pun yang datang dihadapi dengan penerimaan hati yang ikhlas. Penerimaan itu didasari oleh pengertian dan keterbukaan. Pengertian berarti memahami maksud terjadinya segala peristiwa yang dialami, sedangkan keterbukaan berarti tidak menutup diri atau apatis terhadap peristiwa itu.
Pengarang membeberkan arti sumarah dengan gamblang. Selaras dengan arti yang dikemukakan oleh pengarang, menurut Baoesastra Djawa, sumarah berasal dari kata soemarah yang artinya pasrah, manoet mitoeroet. Jadi selain pasrah, sumarah dapat pula berarti ‘menurut’. Sikap ini mengajarkan agar manusia pasrah atau menuruti takdir yang telah digariskan Tuhan. Peristiwa atau ujian apa pun yang datang dihadapi dengan penerimaan hati yang ikhlas. Penerimaan itu didasari oleh pengertian dan keterbukaan. Pengertian berarti memahami maksud terjadinya segala peristiwa yang dialami, sedangkan keterbukaan berarti tidak menutup diri atau apatis terhadap peristiwa itu.
Sikap
sumarah dapat pula diartikan sebagai sikap nrima. Nrima atau narima artinya
merasa puas dengan nasib, tidak memberontak, serta menerima dengan rasa terima
kasih. Sikap nrima menekankan pada segala sesuatu yang datang dalam hidup
seseorang, baik yang datang dari Tuhan atau dari sesama manusia. Sikap ini
terlihat saat Sri pasrah menghadapi kematian suaminya, sesuatu yang telah
digariskan Tuhan. Ia tentu bersedih, namun tidak memberontak atau
mempertanyakan Tuhan mengapa suaminya mesti meninggalkan dirinya. Juga saat Sri
dijodohkan neneknya, ia sumarah atas nasib yang ditimpakan oleh manusia lain
kepadanya. Sikap nrima ini memang tidak akan membuat seseorang terbebas dari
hal-hal yang akan dialaminya nanti. Namun, nrima dapat menjadi perisai yang
menguatkan hati dalam menjalani kenyatan dalam hidup.
Nrima
kadang-kadang diartikan orang sebagai kepasrahan segala-galanya. Seseorang yang
nrima dianggap menelan mentah-mentah takdirnya dan tidak berusaha membuat
hidupnya lebih baik. Ini adalah pendapat yang keliru. Nrima berarti bahwa orang
yang dalam keadaan kecewa dan dalam keadaan kesulitan pun bereaksi dengan
rasional, dengan tidak ambruk, dan juga tidak menentang secara percuma. jadi
bukan berarti bahwa dengan bersikap nrima atau sumarah, seseorang menjadi
pasrah total, pasrah yang tidak berekasi saat menerima sesuatu hal yang membuat
hidupnya sengsara.
No comments:
Post a Comment